Arthur C. Clarke dilahirkan di Minehead, Somerset, Inggris, pada 16 Desember 1917, adalah seorang scince fiction (SF). Clarke menamatkan pendidikan tingkat universitas dengan gelar cum laude di bidang fisika dan matematika dari King’s College London.
Meledaknya Clarke sebagai SF dimulai dengan diterbitkannya cerpen berjudul Loophole (April 1946) dan Rescue Party (Mei 1946) di majalah Astounding Science Fiction, yang merupakan kiblat SF pada masa Golden Age. Pada 1951 Clarke mulai menerbitkan karya-karya berformat novel. Tiga novel pertamanya, Prelude to Space (1951), The Sands of Mars (1951), dan Islands in the Sky (1953).
Serangkaian karya novel penting kembali dilahirkan, seperti Rendezvous with Rama (1972), dan The Fountains of Paradise (1979). Rendezvous with Rama mengelaborasi konsep mengenai pesawat antariksa raksasa berbentuk silindris mendapatkan anugrah Hugo dan Nebula Award, yang merupakan puncak penghargaan dalam dunia literer SF. The Fountains of Paradise mengenai “space elevators” yang diharapkannya akan menjadi
revolusi dalam perjalanan ke tingkat orbital bumi, yang akan meniadakan perlunya roket dan pesawat ulang-alik, novel ini kembali menyabet Hugo dan Nebula Award. Selain itu Clarke mendapat berbagai penghargaan, seperti Telluride Tech Festival Award of Technology (2003), Sri Lankabhimanya (The Pride of Sri Lanka), Honorary Board Chair dari Institute for Cooperation in Space, anggota Board of Governors dari National Space Society, dan nominasi Nobel Perdamaian. Dari Kerajaan Inggris, Clarke mendapatkan gelar CBE (Commander of the British Empire) pada 1989 dan selanjutnya mendapatkan gelar kebangsawanan pada tahun 2000.
Pada ulang tahunnya yang ke-90 pada akhir 2007, Clarke telah memiliki firasat bahwa hidupnya tak akan lama lagi. Ia merekam sebuah pesan video berisi pernyata
an selamat tinggal. Salah satu kegiatan terakhirnya adalah merevisi karya kolaborasi bersama Frederik Pohl yang akan diterbitkan pada 2008. Mirip dengan band Led Zeppelin yang album terakhirnya berjudul Coda, novel terakhir Clarke ini berjudul The Last Theorem. Selamat jalan Sir. Arthur C. Clarke. -Ed-
Hilman, salah satu penulis yang jago ngocol se-Indonesia. Ia lahir di Jakarta, tanggal 25 Agustus, bintangnya Virgo. Hilman yang turunan Jasun alias Jawa-Sunda ini punya ayah tentara berpangkat kolonel. Mulai mengarang sejak ABG, dengan membuat serial Lupus di majalah HAI yang berhasil mengangkat namanya. Ia juga pernah juara ngarang di majalah yang sama. Pernah kuliah di UNAS jurusan Sastra Inggris. Hilman Hariwijaya dengan Lupus-nya merupakan fenomena dalam dunia penerbitan Indonesia. Lupus#1: Tangkaplah Daku Kau Kujitak, terbit Desember 1986, cetakan pertamanya sebanyak 5.000 eksemplar habis dalam waktu kurang dari satu minggu.
Beberapa karyanya ditulis bersama Boim, Gusur dan satu lagi bernama Zara Zettira. Tiras total penjualan bukunya mencapai jutaan eksemplar!! Jumlah yang luar biasa untuk ukuran Indonesia,mengingat tiras "normal" buku lain rata-rata 3.000-5.000 eksemplar, dan itu pun tidak habis terjual dalam waktu satu tahun. Kisah Lupus menggambarkan gaya hidup remaja. Sarat dengan humor orisinal, terutama unik dalam gaya bahasa dan pilihan kata yang seenaknya. Seri Lupus sendiri sudah difilmkan, baik di layar lebar maupun dalam bentuk sinetron. Saat ini tak habis-habisnya film horor diproduksi. Kini giliran Hilman Hariwijaya membuat film horor, bertajuk “The Wall”. Pria yang dikenal luas sebagai penulis novel teenlit ini menggandeng sineas India bernama Kumar Pareek untuk menggarap film produksi perdana Lupus Entertainment.
Seperti yang dikatakan oleh Hilman alasan mengapa ia membuat film horror “Karena horor itu nikmat, unsur hiburannya lebih terasa. Dengan kesadaran bahwa unsur hiburan itu lebih banyak di genre horor itulah, maka saya akhirnya memilih membuat film horor.” Ide ceritanya pun diambil dari eksplorasi dari teman-teman. “Setiap orang punya pengalaman horor, dari situ saya meramu dan merangkai-rangkainya. Kemudian waktu kita hunting lokasi (Bogor--red) di sini, makin memperkaya unsur horor.” Jelas Hilman.
Dalam filmnya Hilman sendiri mengaku tidak punya target festival targetnya hanya laku ditonton. Menurut riset pasar, segagal-gagalnya film horor ditonton 300 ribu.
Pada saat membuat film ini Hilman menghabiskan waktu dua pekan saja, hanya prosesnya saja yang lama.
Alasan Hilman memakai sutradara orang India, menurutnya bekerja itu harus dengan orang yang sehati. “Saya sudah pernah mencoba dengan beberapa sutradara muda Indonesia, tapi nggak ada yang cocok. Karena nggak cocok secara alamiah kita nggak bisa menyatu...Saya merasa lebih sehati dengan Kumar. Sebelum ini saya juga sudah lama berproses dengan dia waktu bikin sinetron.” Kata Hilman.
Hilman banyak menggandeng pendatang baru dalam filmnya. Karena katanya film horor itu memang nggak menjual nama bintang, tapi cerita. Selain itu karakter mereka cocok. “Memang agak lama menggodok mereka. Kami menggandeng Eka D Sitorus untuk memberi kursus akting. Pemain yang sudah punya kesibukan, biasanya tidak punya waktu untuk berlatih.”
Menurut Hilman sendiri film-film horror Indonesia struktur ceritanya lemah, setannya jorok, ngaco.... kemunculannya tidak didesign... akhirnya penonton jadi cape. Menurutnya yang paling mengkhawatirkan ketika menggarap film ini Publikasinya, gawat jika sampai film ini naik di bioskop tetapi orang banyak tidak tahu. Itulah pengalaman pertama Hilman menjadi produser. Kenyataannya Hilman lebih menikmati menjadi penulis dibandingkan menjadi produser.
No comments:
Post a Comment